Sabtu, 30 Januari 2010

Antasari Azhar dan Williardi Tuding Ada Konspirasi

Terdakwa Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan bos Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnain menolak dengan tegas semua tuduhan yang tertuang dalam surat dakwaan maupun surat tuntutan. Ia balik menuding rekuisitor jaksa provokatif, memuat rekaan, cerita, asumsi, dan imajinasi dengan memanipulasi fakta persidangan.

Membacakan pledoi berjudul “Imajinasi Penuntut Umum Berujung pada Tuntutan Mati” (28/1), Antasari menuding ada konspirasi di balik kasus yang menderanya. Langkah konspiratif dimulai dari “pengiriman” Rhani Juliani dengan dalih kartu anggota golf. Antasari yakin ada konspirasi karena saat bertemu di kamar 803 Hotel Gran Mahakam, Rhani merekam pembicaraan. Perekaman itu dijadikan titik awal oleh pihak “ketiga” untuk membangun jejalin kasus yang menimpa Antasari selaku Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Rekaman tersebut  dijadikan pemicu oleh pihak ‘ketiga’ seolah-olah ada ketegangan antara saya dengan almarhum Nasrudin Zulkarnain,” ucap Antasari.

Antasari mengakui terlalu gegabah dan tidak berpikir panjang atas akibat bercerita teror ke beberapa pihak, termasuk kepada Kapolri dan tim yang dibentuk kemudian. Ia menduga informasi yang disampaikan kepada Kapolri dan tim itulah yang dimanfaatkan “pihak ketiga”. Ia menaruh curiga terhadap Sigit Haryo Wibisono terdakwa diberkas terpisah. Sang pengusaha sempat bertemu Antasari dan berusaha merekam pembicaraan mereka. Pertemuan itulah yang dirangkai jaksa dengan kualifisir membujuk orang lain melakukan pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnain.

Menurut Antasari, rangkaian peristiwa berdasarkan rekaman suara dan transkripsi hanya  petunjuk, sehingga harus dibuktikan dengan alat bukti lain yang memiliki kebenaran materiil. Tanpa alat bukti lainnya, rangkaian petunjuk dalam bentuk rekaman yang dirangkai oleh penuntut umum tidak bisa dijadikan alat bukti. Itu hanya “pesepsi, imajinasi dari penuntut umum yang sangat dipengaruhi oleh kondisi jiwa dari penuntut umum dan pengalaman pribadinya selama ini yang diketahui oleh dirinya”.

Antasari menilai peristiwa yang dirangkai oleh penuntut umum sudah dipersiapkan untuk menjebaknya. Peristiwa tersebut malah menjadi cerita fiksi dengan berdasarkan keinginan kejiwaan penuntut umum, bukan berdasarkan fakta kebenaran materiil.  Di mata mantan Kajari Jakarta Selatan itu, dalil penuntut umum menudingnya memiliki motivasi dan melakukan tindakan turut serta bersama Sigit dan Williardi Wizard untuk membujuk eksekutor digunakan untuk menyusun surat tuntutan. Menurutnya, tindakan penuntut umum bertentangan dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. “Bahwa tidak ada permufakatan atau perintah dari saya untuk melakukan tindakan menghilangkan nyawa atau pembunuhan terhadap diri Nasrudin Zulkarnain,” ujarnya.

Antasari malah menuding ada ‘skenario besar’ untuk ‘menyingkirkan’ serta ‘menempatkan’ ia dalam posisi turut serta membujuk orang lain melakukan tindak pidana. Dengan begitu, penuntut umum telah membentuk opini bahwa Antasari adalah aktor di belakang pembunuhan Nasrudin. “Sehingga terkesan dan terbentuk opini bahwa sayalah ‘aktor intelektual’ yang turut serta membujuk orang lain untuk melakukan tindak pidana,” ucapnya.

Penuntut umum menambah ‘bumbu vulgar’ dengan perbuatan amoral antara Antasari dengan Rhani di Hotel Grand Mahakam. Dengan begitu, penuntut umum berusaha membunuh karakter seorang Antasari, di pengadilan dan muka umum. “Seolah-olah saya adalah orang yang amoral padahal semua itu hanya karangan dari imajinasi penuntut umum dalam merangkai rekaman yang sudah direncanakan untuk dibuat sebagai upaya menjebak saya,” katanya.

Menyinggung Sigit, Antasari mengatakan isi pembicaraan di kediaman Sigit sama sekali tidak terkait dengan perkara pembunuhan. Pada 4 Januari 2009 Sigit mengadakan pertemuan dengan tim yang dibentuk Kapolri di Hotel Manhattan. Meskipun sebagai korban teror, Antasari tidak mengetahui pertemuan tersebut. Antasari baru tahu setelah kasus mencuat dan ditahan selama empat bulan di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya. Ternyata, Sigit menyiapkan dana bulanan kepada pengawal pribadi Antasari. Lagi-lagi, tanpa sepengetahuan Antasari.
Tidak hanya itu, menurut Antasari, Sigit dalam memberikan keterangan di persidangan penuh kejanggalan perihal penyerahan uang sebesar Rp500 juta kepada Williardi. Pasalnya, Sigit menyatakan pemberian uang sebesar Rp500 juta atas persetujuan Antasari. Dalam pledoinya Sigit mengatakan uang tersebut adalah pinjaman pribadi Williardi. Menurut Antasari keterangan Sigit sangat tidak logis. Antasari menduga keterangan Sigit dijadikan petunjuk untuk melengkapi alat bukti agar ia dilibatkan dalam kasus pembunuhan Nasrudin oleh penuntut umum dan penyidik. “Memang sejak awal saya sudah ditargetkan untuk dijadikan sebagai tersangka,” ujarnya.

Pengacara Antasari, Juniver Girsang menilai penuntut umum telah mengabaikan fakta yang terungkap di persidangan. Senada dengan kliennya, Juniver menuding ada konspirasi. “Mengapa Antasari Azhar perlu dijadikan target konspirasi?,” imbuhnya. Konspirasi itu, jelas Juniver, dibentuk lantaran adanya ketakutan dan balas dendam dari pihak tertentu yang gerah dengan sepak terjang Antasari saat menjabat ketua KPK. Sejumlah pejabat korup dijebloskan ke bui. Sebut saja jaksa Urip Tri Gunawan yang tersandung dengan kasus Artalyta Suryani alias Ayin. Tidak hanya Urip, korps Adhiyaksa yang juga barak Antasari  pun di ‘obok-obok’ nya. Sehingga, dua Jaksa Agung Muda mesti dicopot dari jabatannya.

Tim, menurut Juniver mengendus keanehan. Pasalnya,  jauh sebelum persidangan digelar, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan akan menuntut maksimal mantan anak buahnya itu. Dengan fakta ini, jelas Juniver, terlihat jelas tuntutan telah dibuat jauh-jauh hari. Dengan begitu, sidang yang digelar hanya formalitas belaka.  “Bagaimana mungkin Jaksa Agung sudah membuat pernyataan akan melakukan tuntutan maksimal,” ujarnya.

Mengenai peran Sigit, tim penasihat hukum dalam uraian pledoi kliennnya menilai bahwa pengusaha itu bertindak layaknya seorang intelijen. Ia selalu tahu keberadaan Antasari. Mungkin karena pengawal Antasari diberi uang.  Anehnya, kata Hotma Sitompoel, Sigit yang berlatar belakang sipil dan pengusaha telah mengetahui lebih dahulu tim bentukan Kapolri di bawah komando Kapolres Jakarta Selatan Kombes Chaerul Anwar. Padahal, Antasari dan Williardi belum mengetahui adanya tim tersebut. Lantas, “Siapa sebenarnya Sigit Haryo Wibisono yang notabene seorang pengusaha tetapi memiliki akses penting dan sangat luar biasa di lembaga-lembaga aparat penegak hukum maupun pemerintah?. Anggota intelijenkah dia?. Dengan peran yang luar biasa itu,  rasanya dapat diduga atau disinyalir bahwa Sigit juga merupakan bagian dari pelaku konspirasi,” ujar Hotma saat membacakan pledoi kliennya.

Saat memberikan keterangan sebagai saksi mahkota di persidangan Antasari, Sigit mencabut BAP tertanggal 2 Mei 2009. Hal serupa terjadi pada Williardi saat menjadi saksi mahkota di persidangan Antasari. Williardi pun mencabut BAP 30 April 2009. Williardi mengakui pada pertemuan dengan Antasari, ia dan Sigit di kediaman Sigit tidak terdapat kalimat untuk menghabisi nyawa Nasrudin sebagaimana tudingan penuntut umum dalam surat dakwaan. Tim penasihat hukum berkesimpulan tidak ada alat bukti yang sah untuk dapat mendukung pembuktian dakwaan,” ujarnya Hotma.

Ditemui usai sidang, anggota tim penuntut umum M Pandiangan menampik tudingan penasihat hukum dan terdakwa perihal surat tuntutan tidak berdasar dengan fakta persidangan. Penuntut umum mempersilahkan penasihat hukum dan terdakwa mempunyai pandangan berbeda terhadap perkara tersebut. Perihal tudingan adanya rekasaya dan grand skenario  maupun konspirasi oleh pihak ketiga, M Pandiangan balik bertanya. “Itu versi mereka. Pernah tidak, mereka menyebut pihak ketiga?. Masa mereka menyebarkan tuduhan tapi tidak menyebut orangnya,” ujarnya. 

Perihal tidak adanya hal meringankan dalam surat tuntutan, M Pandiangan berkelit. Menurutnya, penasihat hukum adalah representatif dari terdakwa. Pasalnya penasihat hukum selama dalam persidangan acap kali menuding adanya rekayasa. “Iya itu salah satunya membuat gaduh,” ujarnya. Dengan begitu, penuntut umum akan menanggapi pledoi terdakwa dan penasihat hukum secara tertulis dalam replik.

Tidak cabut BAP

Serupa dengan Antasari, Williardi Wizard membacakan pembelaanya paa persidangan terpisah. Williardi dalam pledoinya juga menuding terdapat skenario besar untuk menhancurkannya. Setelah dibacakan surat tuntutan pada pekan lalu, Williardi menuding kejaksan dan penyidik telah membuat skenario. Malahan, ketua tim penuntut umum Bambang Suharyadi berupaya agar Williardi tidak mencabut BAP 30 April 2009.

Pasalnya dalam BAP 30 April 2009 menyebutkan Antasari telah menyuruh dan memerintahkan untuk menghabisi nyawa Nasrudin. Dengan begitu, Williardi kembali pada BAP 29 April 2009. Sebagaimana diketahui, dalam persidangan terdahulu Williardi menyatakan pada saat BAP 30 April 2009 berada dalam tekanan penyidik dan Wakabareskrim Hadyatmoko kala itu.

Dalam uraian pembelaannya, Williardi berpendapat nasib dan kehidupannya telah direncanakan oleh segelintir orang dengan sikap arogan dengan berdasar pada imajinasi semata. Wiiliardi menyanggah telah menganjurkan kepada Edoardus Ndopo Mbete. “Bukan saya yang melakukan penganjuran tapi penyidik dan jaksa  yang secara nyata  telah merencanakan pembunuhan terhadap saya  dan kemudian membuktikannya dalam tuntutan,” ujarnya.

Williardi dituntut oleh penuntut umum dengan hukuman pidana mati. Malahan, hal memberatkan bagi mantan Kapolres Jakarta Selatan ini pun sederet disebutkan oleh penuntut umum. Sebaliknya hal meringankan tidak ditemukan penuntut umum. penuntut umum menilai terdakwa Williardi bersama Antasari Azhar dan Sigit Haryo Wibisono menjanjikan dan menyalahgunakan jabatan. Sebab telah bersepakat untuk membunuh Nasrudin. Bahkan, Williardi telah membujuk Edo dengan mengatakan tugas yang diembannya adalah tugas negara.

Ditemui usai sidang, ketua tim penuntut umum Bambang Suharyadi menyanggah tudingan Williardi. Menurutnya pada saat penelitian berkas secara fisik belum bertemu dengan Williardi. Pasalnya, Bambang kala itu menjadi jaksa peneliti alias Jaksa P16. Pada pelimpahan tahap kedua, JPU bertemu dengan Williardi di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.

Dijelaskan Bambang, BAP 29 April dan BAP 30 April berbeda. Selaku peneliti berkas, jaksa meminta penyidik agar memeriksa secara konsisten. Bambang juga menyanggah skenario sebagaimana tudingan Williardi. “Oh tidak. Kalau skenario kan pasti terungkap di persidangan sebagaimana yang sudah kita jalankan. Itu BAP 29 dan 30 itu tidak konsisten. Apakah ada pemaksaan atau tidak. Jadi kita penelitian secara berkas dan bukan pertemuan secara fisik,” ujarnya.

Anggota penuntut umum Iwan Setiawan mengatakan biarkan majelis hakim yang akan menilai tudingan terdakwa. “Buat kami tetap pada tuntutan, nanti kita jawab dalam replik,” ujarnya. (po)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar